Sabtu, 01 Februari 2014



Cinta di Malam Lailatul Qadar

Terdengar lantun suara lirih bacaan Al-Quran setiap fajar, khas mengalun
mengalahkan melodi simphoni relaxasi yang biasa didengarkan untuk terapi
pikiran, membangunkan para aura suci untuk bermunajat kepadaMu,terkesimalah
para malaikat mendengarnya,terngiang indah disetiap sentuhan ayat sehingga kau
jelma saat subuh dengan kehangatan hawa mushab itu, bibir tipis yang setiap
saat bergetar menyebut nama Allah.Wajah ayu yang bersinar sehalus lilin terselimuti jilbab,yang setiap waktuakan terpercik air suci wudhu.Senyum indah
dikala limpahan nikmat menghujani keluarganya yang kecil.Mata sayup yang
tergenang air mata saat musibah menimpa kehidupannya,bahkan aku tidak bisa
mengerti tentang air mata itu.Ia bersyukur atau sebuah ratapan, karena wanita
itu tak pernah mengeluh tentang takdir yang silih berganti mengalir setiap
hari, bahkan sampai aliran pembuluh darahnya terhenti. Taukah dia yang selalu
aku kagumi wajahnya setiap dia terlelap dalam mimpi, sesungguhnya aku tak
rela jika tingkah laku yang terbungkus kesopanannya ternodai cipratan dosa,
akan selalu kujaga meskipun lawan yang kuhadapi ratusan pedang akan mencabik-cabik tepat dijantungku, aku sungguh mencintainya.
YaAllahaku takut tentang anggapan syirik, sesungguhnya aku tak akan pernah menyekutukanMu atas wanita itu.Kau berikanku surga yang nyata didunia ini, berwujud mahluk yang senantiasa mengingatkanku atas nikmatMu, mahluk yang biasa aku panggil sayank,adalah Ibuku.
Terkadang pernah terbesit kesombongan untuk membuktikan bahwa Ibukuadalah Ibu yang terbaik dalam hidupku.Terkadang aku ingin mengepal tangan keangkuhan biar semua tahu bahwa Ibuku adalah Ibu yang benar-benar bisa kupercayakan untuk keluarga, terkadang akan kubusungkan dada tinggi hati untuk bersaing agar semua mengerti bahw Ibuku adalah sebenar-benar Ibu yang terbaik dari yang terbaik, kesolehahannya mengandung sari yang bisa mengobati penyakit hati mereka, aku tak pernah patah semangat untuk membekukan pendapat manusia yang melecehkannya, orang-orang akan salah menilai, tapi semua itu selalu luluh
sebelum berjuang, adalah Ibuku yang mendinginkan darah yang semula memanas,
ia yang membendung segala amarahku sehingga semua saraf teraliri kesejukan.      Semua itu ada massanya, percayalah Tuhan lebih mengerti umatNya,keadilan  hakiki    bukan disini tempatnya, maafkanlah mereka, segeralah dibukakan
mata hati mereka yang tertutup, aku tidak pernah menyimpan dendam,sebagaimana kuinginkan suami yang demikian, sesungguhnya aku tidak
menginginkan ketidaktaatan kepada suamiku, aku tidak bermaksut menghilangkan
sifat menghormatimu, semoga laknat Allah tidak menimpa keluargaku, sebaliknya
semoga nikmat cintaNya dilimpahkan menjadi nikmat cintaku yang luar biasa
kepada suamiku. Mendengar ucapan istriku seakan rontok seluruh isi tubuhku,
menjadi lebur tak berdaya, seperti debu yang mudah hilang hanya tertiup angin,
ya Allah seandainya yang kupendam dalam hati menentang syariatMu, hilangkan
rasa itu, ya Allah maafkan aku, fithoatillah jawabku dalam hati, aku sungguh
beruntung memiliki istri sepertinya, dia tak sekedar penghias hidupku tapi
bahkan melebihi apa yang aku bayangkan, ucapannya mengandung sabda.
        Akan lebih terheran jika orang yang dulu pernah mengecilkannya, melihat
tingkah lakunya sekarang yang anggun, orang-orang menganggapnya adalah
sebongkah batu yang tidak bisa berbuat apa-apa, hanya sebongkah batu yang hanya
merepotkan pemiliknya, tapi tidak bagiku. Tapi kuyakin sebongkah batu itu yang
dipilihkan Allah untukku, batu yang mungkin bisa mengalahkan puluhan permata
yang dulu pernah mencoba menghiasi perjalanan taarufku, sampai aku memilihnya
sebagai belahan jiwa, dia memang tak secantik Siti Hawa, tapi cukup
menggetarkan naluri lelakiku ketika tersenyum lewat candaanku, dia memang tak
sekaya Ratu Bilqis, tapi batinnya merasa kaya dan selalu bersyukur dengan apa
yang dimiliki, dia memang tak setegar Fatimah Azzahra, tapi cukup membuatku
nyaman ketika harus berlayar mengarungi kehidupan yang penuh gelombang
menghantam.
        Massarapan dulu sebelum berangkat ke kantor pintanya, nasi putih, telur
ceplok plus mie instant menu pagi ini yang sudah tersedia dilesehan karpet
depan televisi. Rumah kami cukup sederhana, untuk saat ini meja makan belum
sempat terbeli, usia pernikahan yang masih dini memaksa kami belum berfikir
memilikinya. Aku cukup kenyang, sudah terbiasa sejak kecil tak pernah
membiarkan makanan tersisa dipiring. Alhamdulillah ya Allah jangan kau
hentikan kebahagiaan atas keluargaku, berikan rizqi yang halal dan keberkahan
yang luar biasa agar terbelanjakan dijalanMu, jauhkan kami dari bau busuk
neraka, curahkan aroma wewangian dariMu, pilihlah keluarga kami sebagai
penghuni surga, shalawat dan salam kpd Sang Pangeran Cinta Rasulullah SAW,
amin doa yang pernah diajarkan ibu kepadaku sewaktu kecil, sepintas teringat
tangan terjuntai dari seorang ibu mengusap rambutku, mata tajam memandang
keoptimisan dari anaknya, seolah menitipkan harapan besar yang tampak tergambar
dari rautwajah beliau, beliau tak pernah terlewatkan untuk mengecup kening setiap
selesai berdoa untuk anaknya.
      Nanti missed call ya kalau sudah sampai kantor. InsyaAllah”jawabku,
bergulir hari-hari kami yang selalu berjalan akan hiasan kehidupan islami yang
tercipta. Setengah tahun kami berumah tangga, belum pernah berselisih tentang
masalah besar, kami selalu menganggap semua itu hanya hiburan yang tidak
mengurangi kasih sayang. Adalah istriku yang mengajarkan itu semua, merenung
sejenak dan berfikir dengan kepala dingin akan mengalahkan segala-galanya
daripada mengedepankan emosional. Sayankmalam ini jangan lupa menghafal ayat
74 surat An-Nissa pintanya, jari lentiknya mengencangkan ikatan jaket yang
kupakai.



KASIH SAYANG SEORANG AYAH

Seorang gadis yang sangat cantik, tinggi dan berkulit putih, dia bernama dina. Dia tinggal sebuah daerah yaitu SIDAYU. Dia tinggal bersama mamanya dan ayah tirinya.
Dina adalah anak yang lemah lembut, tapi, sejak ayah dan ibunya berpisah, Dia menjadi anak yang nakal, dan tidak punya sopan santun. Dina memilih tinggal bersama mama nya, sejak itu lah, hubungan Dina dengan ayahnya mulai berkurang. Dina yang tidak diperbolehkan mamanya berhubungan lagi dengan ayahnya.
Suatu ketika, ayah nya menelfon Dina karena ayahnya kangen sama dina, tapi sayangnya dina menjawab telfon dengan suara yang keras dan tidak sopan santun.
“ ngapain kamu nelfon aku ?, aku bukan anak mu lagi”
“ ini aku ayahmu nak, ayah kandung kamu”. Dengan sabar ayahnya menjawab dengan perlahan, ayahnya tidak mau Dina semakin benci sama ayahnya. Pada saat itu Dina langsung mematikan hp nya, Dina hanya berbicara baik kepada ayahnya kalau Dia lagi membutuhkan uangnya.
Semua temannya banyak yang memberi nasehat kepada Dina, agar lebih sopan pada ayahnya, semua temannya sangatlah prihatin kepada Dina dengan sikapnya tersebut.
“Dina, itu ayah kandung kamu, kamu tidak sepantasnya berbicara kasar seperti itu, meskipun ayah mu sudah bercerai degna mama mu, bukan berarti dia bukan ayah kamu lagi din.”. kata temannya
“ tau apa sih kamu tentang keluarga aku, kamu itu sok tau ya, jadi orang jangan sok tau deh, urus aja sana keluarga kamu, udah benar apa belum.” Jawab Dina dengan wajah marah
Mama nya Dina telah salah mendidik anaknya, karena Dina menjadi benci kepada ayahnya karena mama nya yang tidak memperboleh kan Dina untuk berhubungan lagi dengan ayahnya.
Suatu ketika, Dina kehabisan uang dan tidak berani meminta mama nya, dan akhirnya Dina pun menelfon ayahnya untuk segera mengirimkan uang secepatnya.
“ayah, ayah sekarang ada dimana ?, Dina lagi butuh banget nih sama ayah” ucap Dina.
“iya nak ada apa ??”. jawab ayah dengan tersenyum bahagia karena mendengar perkataan dina yang sangat sopan kepada ayah nya.
“ayah, aku lagi butuh uang sekarang nih yah, ayah mau tidak kirim uang ditabungan aku sekarang ?”. tanya Dina
Ayahnya yang mendengar Dina membutuhka uang, ayahnya tidak berfikir dua kali lagi. Dan ayahnya yang tidak mau Dina kesulitan, pada saat itu juga Ayahnya langsung mengirim uang pada tabungan Dina. Ayahnya sangat lah sayang pada Dina, meskipun ayahnya diperlakukan seperti itu sama Dina, tapi ayahnya masih sabar dan masih sayang pada Dina.
Dina yang memilih ikut dengan mamanya dan ayah tirinya, dan Dia sekarang memilih lebih patuh terhadap ayah tirinya, meskipun ayah tirinya tersebut tidak sebegitu sayang terhadap Dina. Ayah tirinya telah memiliki dua anak yang masih kecil. Dina sangat tidak sadar bahwa yang telah dia pillih adalah salah. Ayah tirinya memang baik, karena ayah nya kaya raya, jadi Dina bisa membeli barang apa saja yg dia mau.
Mama nya yang pernah bilang pada Dina “ jangan pernah menerima uang atau pun barang dari ayah mu yang dulu, orang yang pantas kamu panggil ayah adalah ayah yang sekarang”. Kata mamanya. Dina yang pada saat itu baru memasuki masa remajanya, dan sifatnya masih kekanak-kanakan, dia selalu menuruti apa kata mamanya, karena dia sangat takut pada mamanya.
“mama, kenapa aku harus membenci ayah aku ?” tanya Dina pada mamanya.
“ayah kamu itu tidak pantas untuk kamu nak, dia ayah yang sangat jahat” jawab mama.
Dina yang teringat pada masa kecil nya dulu, ayah lha yang mengajari dia menaiki sepeda, sehingga dia bisa menaiki sepeda, ayah yang selalu tegas dalam hal apa pun. Tapi Dina selalu berfikir bahwa ayah nya adalah orang yang jahat, yang tega meninggalkan Dina dan mama nya. Dina pernah mengirim sebuah pesan kecil kepada ayahnya, “kamu ayah yang jahat, yang tega meninggalkan Dina dan mama”.
Dina yang tidak tau mana yg benar dan mana yang salah, dina selalu mengirim pesan kepada ayah nya dengan tulisan “AYAH JAHAT” , tapi ayahnya selalu tegar dalam menghadapi sikap Dina, ayahnya selalu mengirim pesan, menelfon Dina setiap saat, selagi ayah nya bisa, meskipun dengan balasan yang tidak seharusnya diterima oleh ayah, dengan kata-kata kasar.
Dina yang sekarang menjadi anak remaja, dina selau pergi dengan teman-temannya sampai larut malam, meskipun ayah nya tidak satu rumah sama Dina, tapi ayah Dina selalu memantau keadaan Dina. Ayahnya yang pernah melihat dina keluar malam, ayah nya langsung mengirim pesan kepada Dina, dengan kalimat-kalimat nasehat.
“nak, kamu seorang perempuan, tidak sepantas nya kamu keluar malam kaya gitu nak”. Kata ayah
“tau apa sih kamu tentang aku, mama aku aja gak melarang sama sekali, dasar orang tua, ikut campur urusan anak remaja aja” jawab Dina dengan nada yang kasar.
Nasehat dari ayah tersebut, Dina menganggap bahwa itu adalah nasehat yang tidak penting, yang tidak untuk diperdengar. Dina merasa terganggu dengan nasehat-nasehat dari ayahnya.
Pada suatu ketika ayah nya yang sedang tidak punya uang, tiba-tiba Dina meminta uang pada ayahnya, Dina yang memaksa ayah nya untuk mengasih dia uang, tapi ayah nya hanya bisa diam dan tersenyum melihat tingkah laku Dina. Dina akhirnya marah dan mengucapkan kata-kata yanng sangat menyakiti ayah nya.

“KURANG AJAR, APA SIH SUSAHNYA NGASIH UANG, DASAR !!”
Ayahnya yang mendengar ucapan Dina tersebut, hanya bisa diam, seorang ayah tidak mungkin meneteskan air matanya, tapi dalam hatinya, ayah menagis menjerit, melihat tingkah laku anaknya seperti itu. Dina yang melihat ayahnya seperti itu bukannya meminta maaf, tapi dia malah langsung pergi dan memaki-maki ayahnya.

Dina langsung pulang kerumah mamanya, “ kamu dari mana aja dina?”. Tanya mamanya
“ baru pulang dari rumah teman ma, habis kerja kelompok”. Jawab dina dengan perkataan yang gugup. Mama Dina yang pada saat itu berpura-pura percaya pada Dina, padahal mamanya curiga dengan gerak-gerik Dina yang aneh. Mamanya yang harus sering-sering memantau Dina karena kecurigaan nya tersebut. Tapi, Dina mengetahui bahwa mamanya hanyalah berpura-pura percaya pada Dina. Dina sangatlah berhati-hati ketika bepergian kemana-mana.
Dina yang pada saat itu mau keluar malam, tiba-tiba didepan pintu ada seorang wanita yang berdiri, dan itu ternyata mamanya sendiri. Mamanya menanyai kemana Dina mau pergi. “ kamu mau pergi kemanan ?”. tanya mamanya
“ aku mau pergi jalan-jalan sama teman-teman ma, emangnya kenapa ma ?”. tanya kembali

“ kamu beneran mau pergi sama teman-teman kamu ?, kamu tidak pergi sama ayah mu yang jahat itu kan ?”.
“ gak lha ma, aku gak mungkin mau pergi sama orang itu lagi “. Jawab dina.
Mendengar perkataan dari Dina, mamanya merasa lega dan memperbolehkan Dina untuk keluar malam. Mamanya hanya berpesan pada Dina agar tidak pulang malam-malam.

Tapi, Dina pergi kerumah ayahnya untuk meminta uang buat pergi jalan-jalan sama teman-teman nya. Dina yang tidak diperbolehkan ayahnya buat keluar malam, karena takut Dina tersesat dengan pergaulan bebas. Dina memarahi ayahnya yang melarangnya buat keluar malam.
“Lo kira aku ini nenek-nenek apa ?, aku ini anak remaja, butuh hiburan malam ya.” Ucap Dina
“ tapi, itu tidak baik buat amu nak, ayah sangat khawatir dengan keadaan kamu nak”. Jawab ayahnya
“ udah deh, aku kesini Cuma minta uang, kenapa harus mendengar ceramah-ceramah yang tidak penting ini, bosen tau mendengar ceramah-ceramah kamu, kalau tidak punya uang bilang saja, aku gak an minta kok”. Jawab Dina sambil meninggalkan rumah ayahnya.

Dina yang berharap ayahnya memanggil namanya dan mengasih uang, tapi, tidak tepat dengan harapan Dina. Ayahnya malah tersenyum melihat Dina seperti itu. Dina melihat ayahnya tersenyum, semakin marah Dina terhadap ayahnya.

Dina akhirnya pergi malam untuk jalan-jalan dan bersenang-senang dengan teman-temannya. pada saat Dina pulang, ternyata mamanya mengetahui bahwa Dina malam itu pergi ke rumah ayah kandung nya, mamanya sangat marah dan menatap Dina dengan raut wajah yang sangat kejam.
“ kamu dari mana aja ?”. tanya mamanya.

“ aku habis jalan-jalan ma sama teman-teman aku, ada apa sih ma, kok kayaknya curiga banget sama aku ..?” kata Dinda
“ kamu jawab yang jujur, kamu pergi kemana aja ?, apakah kamu ke rumah ayah mu yang jahat itu ??, mama kan udah pernah bilang, jangan berhubungan lagi sama laki-laki itu, laki-laki itu bukan lagi ayah kamu, kamu ngerti gak sih Din ?, jawab yang jujur?”. Tanya mamanya dengan suara yang keras dan kasar
“ iya ma, aku tadi pergi kerumah ayah, tapi aku Cuma minta uang sama dia ma, aku gak bakal ulangin lagi kok ma perbuatan itu”. Jawab Dina.
Mamanya yang hampir menampar pipi Dina, tapi ditahan dengan ayah kandungnya Dina, mamanya kaget melihat kedatangan ayahnya. Dina langdung memeluk ayahnya karena takut dengan mamanya.

“ kamu tidak pantas menampar Dina, dia anak yang tidak punya dosa, dia tidak punya salah apa-apa, kenapa kamu melarang Dina untuk berhubungan dengan aku lagi, aku ini ayah kandungnya??”. Tanya ayahnya kepada mamanya Dina.
Mamanya hanya bisa diam mendengar perkataan itu, dan tidak bisa menjawab dengan satu kata pun.

Dan akhirnya Dina menyadari bahwa ayahnya adalah orang yang sangat baik terhadap Dina, Dina meminta maaf kepada ayahnya, Dina menyesali dengan perbuatanya tersebut, dan Dina akhirnya memilih untuk tinggal bersama ayahnya. Meskipun Dina tinggal bersama ayahnya, tapi, ayahnya tidak pernah melarang Dina untuk bertemu sama mama nya, karena menurut ayahnya, tidak ada kata mantan buat orang tua, dan tidak ada yang bisa menggantikan kebaikan kedua orang tua. Meraka saling berhubungan satu sama lain.

Dina hidup bahagia melihat mama dan ayahnya sudah baikan, meskipun tidak untuk kembali berkeluarga, karena mamanya Dina sudah mempunyai keluarga baru. Yang di inginkan Dina hanya ingin melihat mama dan ayahnya bahagia. Dina selalu menyesali apa yang pernah diperbuat kepada ayahnya, dan tidak ada yang bisa menggantikan ayah kandung nya lagi.

Read more: http://www.resensi.net/kasih-sayang-seorang-ayah/2012/10/#ixzz2JqFmClDB

Jurnal Mama

Pagi ini aku membuka lemari tua ayahku, setelah kepindahan ku kemari, kepindahan kembali tepatnya. Aku belum sempat melihat-lihat rumah tua ini, selain semak belukar di sekeliling rumah yang berencana akan kupotong nanti. Aku masuk dalam rumahku yang telah lama aku tinggalakan, entah kenapa ruang pertama yang ingin aku masuki adalah kamar Mamaku. Aku melihat isi dalam lemari di dalam kamar mama, debu-debu membuat aku tak bisa bernafas dengan baik. Kapan terakhir ayah membersihkan ini? huh, rumah sebagus ini kenapa dibiarkan terbengkalai begitu saja? Dan saat ku tanya alasannya pasti sama, ayah akan teringat mama saat kemari. Tapi mulai tahun ini kuputuskan untuk kemari, tidak peduli pada ayah, aku rindu rumah ini, hal terakhir yang kuingat, adalah saat aku bermain dengan lumpur di halaman belakang dengan Juno. Mungkin dia juga salah satu alasan kenapa aku kembali kemari. aku selalu tersenyum sendiri jika mengingatnya.
Debu dalam lemari itu mulai beranjak turun tertarik gravitasi, dan aku juga mulai bisa melihat bagian dalam lemari itu, beberapa benda-benda lama tertata di dalam lemari itu, ada beberapa baju-baju lama, mungkin itu baju mama. Jika telah kucuci aku ingin memakainya. patung, guci, mawar kering, cincin, buku diary berwarna biru, aku penasaran, apa yang ditulis mama waktu muda?. Kisah cinta yang romantis, kencan pertama, atau bagaimana ayah menyatakan perasaannya. Aku membuka halaman pertama diary itu.
2 juni 1995
Sebaris kata-kata itu terlalu memusingkanku.. sejak kapan aku tak bisa mengeja kata inspirasi dengan benar dalam waktu 5 detik? Seorang dokter bilang gejala ini adalah awal dari sebuah penyakit. Tapi penyakit apa yang membuat kita bodoh perlahan-lahan? Mengingatnya aku ingin tertawa. Memang aku pernah menonton sebuah film, dimana tokoh utama yang berusia lebih dari 60 tahun menderita alzeimer, sejenis penyakit kepikunan, yang pada akhirnya dia menjadi bodoh perlahan-lahan, amnesia tahap demi tahap. Tapi bukankah itu hanya sebuah film? Lagi pula aku 24 tahun. Apa yang kupikirkan… aku hanya tak bisa mengeja inspirasi dengan benar, bukankah itu hal biasa? Semua orang pernah mengalami hal yang seperti itu.
7 agustus 1995
Akhir-akhir ini aku sering membuat masalah, sebanyak 12 kali dalam seminggu aku mulai sering melupakan sesuatu, meninggalakan kartu ujian di meja belajar, handphone, tugas, uang saku di depan teras, menggunakan sandal saat ke kantor, meninggalkan dispenser yang masih mengalir airnya, atau hal-hal lainnya. Aku benci dengan itu, aku benar-benar pikun melebihi nenekku yang telah berumur lebih dari 60 tahun.. adikku sering mengkhawatirkanku tentang itu. lebih baik dari sebelumnya yang selalu tak acuh padaku. Bebarapa teman memberi saran agar aku sering mencatat jurnal, tapi itu pun aku sering lupa.
5 september 1995
Kali ini aku benar-benar takut, dokter mulai menyarankan ku meminum obat-obatan yang ditulis dalam resep. Aku harus mulai menabung untuk menebus obat-obatan itu. adikku yang dulu sangat menyebalkan kini mulai bersikap baik padaku, dia membantuku bekerja agar aku dapat menebus obat-obat itu, dia juga mulai sangat memperhatikanku. Aku bahkan telah lupa bagaimana sikap menyebalakannya beberapa bulan yang lalu. Yang masih membekas di otakku adalah, sikap dingin pertamanya saat ayah dan ibu meninggal. Aku dulu tidak tahu bahwa dia sangat mencintaiku sebagai kakaknya, kupikir hanya aku yang menyayanginya, ternyata dia melebihiku.
22 november
Aku akan bodoh akhir-akhir ini, aku melupakan 2 nama klien penting saat meeting, melupakan salah satu member westlife, melupakan nama atasanku, melupakan janji dengan temanku. Aku tidak tahu akan sebodoh apa aku nanti, semakin lama aku semakin takut.
12 desember 1995
Aku lupa menulis tahun di belakang bulan dalam jurnalku, apa itu masalah besar? Sekarang setiap hari seperti menancap duri di tanganku, semakin lama semakin sakit. Tidak tahu akan berbicara dengan siapa.
1 januari 1996
Regar pria yang baik, dia mendekatiku di malam tahun baru ini, aku merasa aneh saat didekatnya, tapi aku takut, aku takut dia tahu aku bodoh, aku takut dia membenciku karena aku ceroboh dan berkepribadian buruk. Aku takut.
9 Februari 1996
Aku lupa kapan aku menerimanya, dan entah kapan aku mulai sadar, Regar adalah kekasihku sekarang. Kadang aku bahagia menerima kenyataan itu, tapi kadang juga aku menyesal.
14 maret 1996
Saat bangun dari tidurku aku melihat seseorang di depan ku, dia terus menatapku dengan penuh tanda Tanya, kutanya pada adikku, siapa dia? Kenapa menatapku seperti itu. adikku dengan mata sedihnya yang sering kulihat berkata, dia adalah bayanganku sendiri dalam kaca. Aku tidak percaya, aku bahkan tak memngingat wajahku sendiri.
6 mei 1996
Aku melakukan perawatan kulit untuk pertama kali dalam 3 tahun belakangan ini, awalnya aku tak ingat kenapa aku melakukan itu, tapi adikku bilang Regar melamarku sebulan yang lalu. Dan aku menerimnya, aku marah pada diriku sendiri namun seperti marah pada adikku, kenapa aku menerimanya, bagaimana kalau dia tahu aku penyakitan seperti ini?, tapi adikku dengan menangis berkata kalau dia sudah lama tahu.
15 mei 1996
Aku menikah, dengannya. Banyak temanku yang datang tapi sebagian besar aku telah lupa siapa mereka, dan yang lainnya aku telah lupa namanya. Kenyataan tidak ada satu tamu pun yang kuanggak kenal dan dekat denganku, aku merasa asing di pernikahan ku sendiri.
2 September 1996
Aku hamil, begitu kata suamiku pagi ini, dia bilang aku telah melakukan test sebanyak tiga kali untuk meyakinkan itu.
14 januari 1997
Aku merasakan kehidupan dalam perutku. Tapi lagi-lagi aku takut, bagimana jika suatu hari dia bertanya kenapa ibu bodoh? Atau aku melupakannya dan membuat dia terjatuh dari balkon setinggi ini. aku takut.
28 mei
Beberapa hari lagi dia akan keluar dari perutku., dan aku masih sering lupa kalau dia ada.
28 Mei 1997
Tadi pagi aku merasakan sakit yang amat sangat di perutku, aku tidak tahu mengapa, seperti anak di perutku akan segera keluar. Rasanya kau sangat takut, ketakutan yang amat sangat. Tapi ada rasa aneh yang menjalarku, rasa bahagia akan sebuah penantian, dan aku sedikit menyesal karena tersadar dengan perut yang masih membesar. Jika hal seperti tadi terjadi lagi entah besok atau kapan, aku berdoa pada tuhan ambil saja nyawaku saat itu, biar dia bahagia dengan ibu yang sehat, tuhan jika dia sudah besar sampaikan padanya aku menyayanginya, dan sampaikan maafku, jika aku pernah tidak sama sekali menginginkannya. Maafkan aku yang pernah berpikir akan menjatuhkannya dari balkon. Setidaknya hal itu tidak akan terjadi.

1 juni 1997
Bayi ku lahir, bayi yang cantik dan sehat, gemuk dan merah. Redis netha regarsari. Tapi dalam senyumku aku menangis, istriku tak sempat melihatnya. Desi gadis cantik, yang penderitaannya membuat aku sadar aku sangat mencintainya, tidak masalah dia lupa saat aku memberinya 35 bunga pada 1 February 1997, saat dia lupa bagaimana aku melamarnya, saat dia selalu dingin padaku, dan juga tidak masalah dia melupakan namaku beberapa hari setelah menikah. Tapi aku tetap mencintainya. Semakin lama semakin besar. Dan mulai saat ini aku akan sangat merindukanya. Aku tidak akan menangis karena dia pergi, karena aku tau dia melihatku disana. Dia akan membantuku merawat Redis. Sampai dewasa nanti.

Aku menangis membaca jurnal mama ku ini, ada apa? Aku bahkan tak dapat berkomentar saat membacanya. Aku mebisu, pikiranku terpaku dan kini air mataku mengalir, Tuhan jaga ibuku disana. Hanya itu, apa yang harus kulakukan lagi aku tidak tahu. Yang jelas saat ini aku ingin pulang dan minta maaf pada ayahku, lalu memeluknya erat.
Mama… I miss you!
terinspirasi dari sebuh drakor special “a thausand promise”
Cerpen Karangan: Ristanti Nur Insyirah
Facebook: Riries Clarista

Cerita Dara

“Dara…, tunggu!” suara cempreng milik Faya menghentikan langkah kakiku yang tergesa-gesa. Aku berbalik menanti Faya yang berlari-lari kecil ke arahku. Saat Faya sampai tepat di belakang ku, aku kembali melanjutkan langkah.
“Ra, kok lo buru-buru banget sih?” tanya Faya dengan suara terputus-putus.
“Iya, gua gak mau telat dan dapat kursi di belakang.” Jawabku singkat.
“Tumben? Biasanya lo kan paling anti duduk di depan.” Faya yang ngos-ngosan berusaha mengimbangi langkah kakiku yang lebar-lebar.
“Itu kan biasanya, nah sekarang yang luar biasa…” jawabku sekenanya.
Sesampainya di depan kelas F2, ku lihat kelas itu masih kosong melompong. Ternyata memang benar aku kepagian. Aku langsung mengambil kursi di barisan paling depan tepat di depan meja dosen. Faya yang terlihat masih bingung tetap mengikuti gerakanku. Ia lalu mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Kenapa sih lo, Ra? Jadi aneh banget ni hari?” tanya Faya penasaran.
“Lo tau sekarang hari apa?” aku balik bertanya.
“Hari selasa, emangnya kenapa?”
“Lo tau apa artinya Selasa?”
“Nama hari yang ketiga.” Jawab Faya polos.
“Amplop deh, bego banget sih lo…”
“Ya, gua bingung. Maksud pertanyaan lo itu apa siiih?”
“Gini lho, sekarang hari Selasa, jam pertama, mata kuliah Linguistik. Nah, sekarang lo juga belum ngerti tu artinya apa?”
“Ooohhh… maksud looo?” mata Faya yang indah membulat seperti bola pingpong. Jari telunjuknya mengacung ke arah wajahku. Aku mengangguk puas saat Faya akhirnya mengerti apa yang ku maksud.
“Lo juga suka sama Pak Daniel?” suara cempreng Faya mengagetkanku sehingga secara reflek aku membekap mulutnya hingga ia megap-megap kehabisan nafas.
“Sssttt.., jangan teriak-teriak ntar kedengaran yang lain kan berabe. Malu gua..”
Sekelebat ku lihat bayangan seseorang melintas di depan kelas. Aku melongokkan kepalaku ke arah jendela. Bayangan itu telah berlalu. Aman. Kulepaskan bekapanku di mulut Faya. Gadis itu mengambil nafas lega.
“Gila lo! Mau bunuh gue lo?” ceracau Faya.
“Hehehhehe.. piiisss men,” aku mengacungkan dua jariku dengan bentuk ‘V’ di depan wajah manis Faya yang memerah.
“Eh, tapi beneran nih? Keanehan lo hari ini karena Pak Daniel? Tapi lo bilang lo gak suka sama dia, maksud gue lo gak mau jadi ikut-ikutan norak kaya anak-anak?” Faya nyerocos kaya petasan rawit.
“Eits… satu-satu kenapa?” kataku. Ku lihat wajah Faya yang ingin tau melongo kaya sapi ompong. Hihiihihihiih… wajah sahabatku yang satu ini emang lucu kalau lagi bengong.
“Iya, gue suka sama Pak Daniel. Suka banget malah!” ujarku. “gue naksir dia… tapi gue gak mau dong kaya anak-anak yang jadi norak salah tingkah gitu. Gengsi gue. Dara gitu lho!” aku tersenyum-senyum kemudian. Tak terbayang jika nanti ternyata Pak Daniel juga suka sama aku, gosipnya doi kan jomblo, belum punya pacar, belum menikah. Jadi ada kesempatanlah buat ngedaftar untuk menjadi kekasihnya. Hahahhahahahha… asik.. asik… heeey!
“waaah… kumat ni anak. Kumat gilanya!” kata Faya melihat tingkah lakuku. Jari telunjuknya ia silangkan di jidat licin-nya.
Ah, masa bodo kalau Faya bilang Aku gila. Tapi ini memang benar. Aku menyukai Pak Daniel, Dosen baru yang mengajar Linguistik. Ia masih muda, umurnya baru 28 tahun. Selisih 8 tahun dari umurku sekarang. Gak papa lah, jika ia jadi pacarku, itu kan belum tua-tua amat, pikirku. Tapi sainganku pasti sangat banyak. Soalnya sejak pak Daniel masuk minggu lalu, anak-anak cewek di kelasku ribut menceritakan dosen tampan itu setiap hari. Pak Daniel Aditya Naufal D.A – aku gak tau D.A itu kepanjangannya apa – memang sangat manis, cute, cakep, ganteng apalagi ya? Pokoknya handsome buanget deh. Tidak ada sedikit pun garis dan lekukan yang cacat dari dirinya. Sangat sempurna Tuhan menciptakannya. Sekilas Pak Daniel mirip dengan Robert Pattinson pemeran Edward Cullen dalam film seri ‘Twilight’. Yang paling ku suka dari wajahnya adalah matanya yang berwarna hazel. Mata itu memiliki tatapan yang tajam dan menusuk, menusuk hingga ke relung hati terdalam. Oh, Pak Danielku sayang, mau gak jadi pacarku? Plaakkk!
“Awww.” aku meringis kesakitan saat Faya ternyata mendaratkan tangannya di lenganku.
“Lo ngelamun jorok ya?”
“Iih, apaan sih lo?” aku memelototkan mata ke arah Faya.
“Terus kalo gak ngelamun jorok, ngapain lo senyum-senyum gak jelas gitu?”
“Ih, mau tauuu aja!” jawabku.
Ku edarkan pandanganku berkeliling. Kursi-kursi yang ada sudah dipenuhi oleh mahasiswa yang telah berdatangan. Ternyata lumayan lama aku melamunkan si Robert Pattinson, sehingga aku tidak sadar dengan keadaan di sekelilingku.
“Tu, Pak Daniel dateng tuh.” Faya memonyongkan bibirnya ke arah pintu. O, arjunaku datang. Hatiku bersorak kegirangan. Aku langsung mengatur dudukku semanis dan seanggun mungkin, merapikan rambut, dan pakaianku.
“Selamat pagi.” Suara Pak Daniel yang penuh karisma bergema ke seluruh ruangan sekaligus ke seantero hatiku.
“Pagiii.” Suaraku tercekat di tenggorokan.

“Ma…,” aku mencari sosok mama ke semua ruangan. “Mama..”
“Kenapa Dara?” mama muncul dari halaman belakang dengan sebuah pot bunga di tangannya. Bunga yang tumbuh di dalam pot itu manis sekali, daunnya yang hijau berbentuk lebar agak memanjang dan kelopak bunganya kecil-kecil berwarna putih bersih. Aku belum pernah melihat bunga itu di taman bunga milik mama.
“Itu bunga apa Ma, koleksi Mama yang baru ya?”
“Ini namanya Lily. Lily of valey, bagus ya Ra.”
“Iya bagus, cantik. Kapan Mama membelinya?” tanyaku sembari menyentuh kelopak bunganya yang putih lembut.
“Mama gak beli, ini dibawain Abby tadi pagi. Seleranya tentang bunga, bagus. Mama suka banget sama bunga yang dia bawain ini.” Ujar mama sumringah.
“Abby? Abby siapa Ma,” tanyaku bingung “kok tadi pagi aku gak ketemu?”
“Abby itu pacarnya Mbakmu.” Jawaban Mama membuatku semakin membuatku bingung. “tadi pas kamu udah berangkat dia dateng, makanya gak ketemu.”
“Lho? Bukannya pacar Mbak Sinta namanya Jefry?”
“Itu dulu, sekarang tidak.” Jawab Mama meniru gaya ucapan Omesh di salah satu iklan di televisi.
“Lho, jadi Mbak Sinta udah putus ya Ma sama Kak Jefry? Kapan?” aku penasaran.
“Itu makanya kamu jangan sibuuuk aja sama diri sendiri. Jadinya gak update kan?”
“Iih, Mama! Gitu deh…” aku merajuk, mencoba mencari keterangan dengan jurusku yang paling ampuh. Ngambek! Mama terkekeh melihat tingkahku.
“Ya udah, ntar mama ceritain. Kamu makan siang dulu sana! Mama mau ngerapiin ini dulu, ntar kita cerita.” titah mama. Aku mengangguk. Dalam hati aku tidak sabar ingin mendengar cerita Mama, selain itu aku juga ingin menceritakan Pak Daniel. Dosen ganteng yang sudah mencuri hatiku. Aku memang selalu curhat tentang apapun sama mama. Mama adalah ibu sekaligus sahabat untukku. Ketimbang dengan Mbak Sinta yang notabene kakakku, aku lebih suka berbagi cerita dengan mama. Karena jarak umur kami yang lumayan jauh, Mbak Sinta dan aku jarang curhat-curhatan. Mungkin Mbak Sinta menganggap aku adik kecilnya yang masih polos dan lugu, sehingga belum pantas untuk curhatan ala wanita dewasa.
Aku menyelesaikan makan siangku dengan tergesa-gesa sehingga beberapakali aku tersedak makanan. Setelah meja makan kubersihkan kembali, aku menuju mama di halaman belakang.
“Udah selesai makannya?”
“Udah Ma,”
“Cepet banget, nasinya gak kamu kunyah?”
“Gak! langsung aku telen,” jawabku berkelakar. Mama menoel hidungku dengan jari telunjuknya yang kotor kena tanah basah.
“Iiih, Mama. Jorok deeh..” rengekku sambil membersihkan hidungku yang kotor bekas jejak telunjuk mama. Mama tertawa melihat ulahku.
“Cerita dong ma…”
“Cerita apa?”
“Itu… pacarnya Mbak Sinta…”
“Oooh, Abby. Abby itu temen SMA nya Mbak Sinta. Tapi saat lulus SMA, Abby pindah ke Jakarta dan kuliah di sana. Saat dia sudah menamatkan S2 dia pindah lagi ke sini, dan bekerja di sini.”
“Trus Mas Abby tu kerja di tempat Mbak Sinta juga?”
“Kayanya gak deh. Mbak Sinta pernah cerita, katanya Abby itu mengajar, tapi mengajar apa dan dimana Mama gak nanya.”
“Trus, udah berapa lama Mbak Sinta dan Mas Abby pacaran, Ma?” tanyaku kemudian.
“Baru juga satu bulanan ini.” Jawab mama. “Saat Mbakmu dan Jefry putus karena Jefry ketauan selingkuh, seminggu kemudian Mbakmu ketemu sama Abby, ngerasa kembali klop karena waktu SMA memang sudah ada bibitnya, mereka langsung deh jadian.” Mama meletakkan sekop kecil yang ia pegang. Mama menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan, “mudah-mudahan Abby ini lelaki yang baik, lelaki terakhir yang kelak akan menjadi imam yang baik buat Mbakmu. Mama ingin Mbakmu segera menikah, terus punya anak yang lucu-lucu. Hhhh… rasanya sudah tak sabar ingin menggendong cucu.” Pandangan mata mama menerawang.
Aku memeluk mama dari belakang, “iya Ma, aku juga ikut do’ain mudah-mudahan Mas Abby ini orang yang baik, yang kelak akan menjadi jodohnya Mbak Sinta, aku juga udah pengen punya ponakan yang lucu-lucu”. Aku dan mama tersenyum penuh arti.
“Oh ya Ma, aku juga mau cerita,” ujarku kemudian.
“Hmm, cerita apa?”
“Ada dosen baru di kampus aku, GILAA!!! Guanteng banget, mirip sama Robert Pattinson yang di ‘Twilight itu’. Wuuuiiihhh, anak-anak cewek di kelas, pada ribuuut nyeritain tu dosen tiap hari. Mama ngebayangin gak, anak-anak pada kecentilan waktu dosen itu ngajar. Mereka bilang, gantengnya bikin gak konsentrasi. Semuanya jadi norak gak ketulungan.”
“Termasuk kamu, kan?”
“Ih, ya gak lah, aku mah kalem aja.”
“Kaya lembu?”
“Ih, Mama gak asik deh.” Aku memonyongkan bibirku. Mama terkekeh.
“Jadi, intinya nih Ma, tiap hari tu aku jadi semangat ngampus, paling kurang ya buat ngeliat si Robert Pattinson itu.” Aku mengkhayalkan kembali senyum manisnya Pak Daniel. Oh, dia telah sungguh-sungguh menjungkirbalikan hatiku.
Minggu pagi yang cerah. Matahari pagi sudah merayap masuk melalui celah ventilasi ruang kamarku. Namun hal itu tidak menyurutkan niatku untuk kembali menarik selimut, padahal udara tidak lagi dingin. Telah menjadi kebiasaanku setiap hari minggu, karena libur kuliah, setelah sholat Shubuh biasanya aku kembali melanjutkan tidur. Demikian juga hari ini, aku berusaha untuk tidur, walaupun mata ini sudah tak mau terpejam. Aku berguling ke kiri dan ke kanan, memeluk guling lalu mencampakkannya, belum ada posisi yang membuatku nyaman. Ku ambil bantal ku yang sudah kisut, lalu menutupkannya ke mukaku. Hhmm… agak lumayan.
Ting tong.., bel rumah berbunyi. Nah lo siapa lagi tu? Ting tong, lagi bel kembali berdentang. Pada kemana sih orang-orang, bel bunyi dianggurin aja. Aku kemudian bangkit dari tidurku, melayangkan pandang pada weker yang bertengger patuh di atas meja belajarku. Jam setengah tujuh pagi! Siapa yang bertamu se pagi ini? Kurang kerjaan!
Aku berjalan keluar kamar, mencari-cari sosok Mama atau Mbak Sinta. aku mengarahkan langkah kakiku ke dapur, tak ada Mama atau siapapun di sana. Dari kamar mandi terdengar bunyi air yang bergemericik dan suara senandung kecil. Oo, itu pasti Mbak Sinta. Tapi dimana Mama? Aku menuju halaman belakang, namun Mama juga tidak ada di sana. Ting tong! Bel kembali berdentang. Huft, terpaksa deh aku yang bukain pintu. Mana belum mandi, acak-acakan. Tapi siapa sih yang datang bertamu sepagi ini? Tanyaku dalam hati. Paling juga tukang koran, atau Mbak penjual susu murni. Jawab hatiku kemudian. Kurapikan rambut panjangku yang kusut masai dengan menggunakan sisir jari.
“Iya sebentar,” teriakku sambil berjalan ke arah pintu depan. Oow, ternyata pintunya terkunci.
“Assalamualaikum,” suara laki-laki di balik pintu.
“Waalaikum salam, sebentar Pak, Mas, Abang!” kataku, uh, gak sabaran banget sih ni orang. Ku cari-cari kunci cadangan di dalam laci lemari di ruang tamu. Berarti Mama sedang keluar, memang itu kebiasaan Mama, apabila beliau keluar rumah entah itu ke pasar atau hanya ke warung di sudut kompleks, ia selalu mengunci rumah walaupun kami ada di dalam apalagi jika kami masih tidur. Demi alasan keamanan, kata Mama. Mama terkesan terlalu over protektif. Tapi begitulah Mama jika Papa sedang tak ada di rumah.
Akhirnya kunci dengan mainan domba ‘Shaun the Sheep’ itu aku temukan terselip di bawah tumpukan kertas-kertas, entah rekening listrik, air atau apalah itu. Ku masukkan kunci itu ke dalam lubang kunci dan memutarnya dua kali. Ceklek! Aku membuka daun pintu itu untuk melihat siapakah gerangan si Tamu hari minggu pagi itu.
“Selamat pagi.” Sapanya. Lelaki itu tersenyum kepadaku, tapi senyumnya seakan membunuhku.
Robert Pattinson!!! Aku tergeragap, tidak ada suara yang keluar dari bibirku, tidak juga senyum untuk membalas sapaannya. Hanya suara ah, uh yang tidak jelas yang keluar dari tenggorokan-ku.
“Selamat pagi, kamu Dara kan?”
“Ii.. iya, Pak Daniel kok bisa ada di sini?” tanyaku gugup. Tanganku reflek menyentuh dan merapikan rambutku yang aku tau pasti sedang berantakan banget.
“Hey, Abby. Kamu udah dateng?” suara Mbak Sinta mengagetkanku.
“Iya, tapi katanya aku harus dateng pagi-pagi.”
“Iya sih,” Mbak Sinta tersenyum ke arah Pak Daniel yang dipanggilnya Abby. Aku masih bengong gak jelas, “Dara, kok kamu gak suruh Mas Abby masuk?” tanya Mbak Sinta karena melihatku mematung di depan pintu.
“Eh, oh, iya. Silakan masuk, Pak,” ujarku akhirnya. Aku masih bingung kenapa Mbak Sinta memanggil Pak Daniel dengan Abby. Apa maksud nya Umi sama Abi? Aih…
“Abby, ini lho adikku yang namanya Dara yang aku ceritain sama kamu. Dia ini kuliah di tempat kamu mengajar.” Kata Mbak Sinta setelah Pak Daniel duduk di kursi ruang tamu.
“Iya, aku udah tau. Soalnya kalian mirip banget.” Jawab Mas Abby alias Pak Daniel.
“Dara, kamu udah kenal kan sama Mas Abby? Dia ngajar di tempat kamu lho.”
“Udah sih, tapi namanya bukan Abby, tapi Daniel.” ujarku.
“Ooohhh, Abby dan Daniel itu sama saja. Soalnya nama panjang Mas Abby itu, Daniel Aditya Naufal Dary Abiyyu” terang Mbak Sinta. Mas Abby hanya senyum-senyum saja. Jadi D.A di belakang nama Pak Daniel itu singkatan dari Dary Abiyyu.
“Jadi, Mas Abby ini pacarnya Mbak Sinta ya?” tanyaku kemudian, berharap Mbak Sinta menjawab dengan kata ‘tidak’
“Bukan pacar,” hatiku sedikit bersorak kegirangan, “tapi calon suami.” Kata Mbak Sinta melanjutkan. Haaaa… jadi, si Robert Pattinson, eh, Pak Daniel, dosen pujaan hatiku ini adalah calon kakak iparku. Hatiku mencelos, rontok menghantam bumi.
“ya Tuhan… Aku harus ikhlas, demi kebahagiaan Mbak Sinta.” Bisik hatiku kemudian. Aku menelan ludah. Rasanya pahit sekali
Cerpen Karangan: Loli Asmara Dewi